Pada tahun 2023, defisit APBN tidak boleh lagi melebihi 3% dari PDB, sehingga ini menjadi tantangan besar. Tetapi pada saat yang sama, ini juga merupakan peluang untuk menerapkan reformasi pajak besar-besaran.
Fajry Akbar, Tax Observation Center for Indonesia Tax Analysis (CITA), menjelaskan tinjauan undang-undang perpajakan sejauh ini mandek di tingkat legislatif. Sebagai solusi dan realisasinya, kabinet membahas dan mengesahkannya dengan UU DPR n°7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Aturan Perpajakan (UU HPP).

“UU HPP banyak mengubah ketentuan undang-undang perpajakan sebelumnya. Mau tidak mau UU HPP akan memberikan wajah baru perpajakan Indonesia. Secara umum, kami positif dan mengapresiasi langkah besar pemerintah dalam proses penyusunan UU HPP. ,” kata Fajry dalam opininya, Selasa (23/11/2021).
Menurutnya, banyak amanat reformasi perpajakan yang masuk dalam UU HPP. Meskipun ada beberapa ketentuan yang menurut CITA dianggap tidak tepat, namun secara umum diyakini bahwa undang-undang HPP akan membawa perbaikan besar bagi dunia perpajakan Indonesia.
“Secara keseluruhan, kami menilai dan mengevaluasi UU HPP secara positif, terutama untuk mengoptimalkan pendapatan. Lebih dari itu, UU HPP juga berdampak positif bagi masyarakat menengah ke bawah dan lingkungan,” ungkapnya.
Berikut poin-poin dampak positif UU HPP menurut Fajry, yaitu:
Ekonomi Indonesia
Pertama, banyak di klaster KUP UU HPP yang merencanakan ketentuan baru untuk mencegah penghindaran pajak dan menambah otoritas otoritas pajak. Penyesuaian besaran denda juga dilakukan untuk menjamin rasa keadilan wajib pajak.
Di klaster PPN, banyak barang dan jasa yang sebelumnya dikecualikan sekarang dikenakan sistem pajak, tetapi masih menikmati opsi pembebasan. Di klaster PPh, pajak dalam bentuk barang diatur, yang menambahkan bendera tarif tertinggi untuk memastikan keadilan.
“Dalam pandangan kami, ini menjadi bukti bahwa RUU HPP tidak sebatas suku bunga jangka pendek untuk mengejar target defisit anggaran 2023, tetapi merupakan bagian dari reformasi perpajakan jangka panjang,” katanya.
Kedua, kenaikan tarif PPN sebesar 1% pada tahun 2022 akan mempercepat hasil penerimaan PPN pada tahun 2022. Kinerja penerimaan PPN sendiri menjadi pendorong utama peningkatan efisiensi penerimaan pajak pada tahun 2021 sejalan dengan pemulihan ekonomi. .
“Kalaupun kenaikannya hanya 1%, akan berdampak cukup besar terhadap pendapatan jika ekonomi bisa tumbuh optimal pada 2022. Sementara itu, kenaikan suku bunga 1% bahkan sudah memperhitungkan aspek pasca perbaikan ekonomi pandemi,” dia berkata.
Ketiga, pajak karbon memberikan paradigma baru bagi perpajakan di Indonesia. Pajak ini memperkenalkan objek baru, yaitu emisi gas rumah kaca. Selain itu, pengenaan pajak karbon di Indonesia menjadi salah satu pelopor pengenaan pajak karbon di negara berkembang.
“Pengenaan pajak karbon ini merupakan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29% (seperti biasa) dan 41% pada tahun 2030 dengan dukungan dan kerjasama internasional,” jelasnya.
Nantinya, pajak CO2 akan diperkenalkan sebagai bagian dari mekanisme perdagangan CO2. Pengenalan tersebut mengikuti roadmap dan pertama kali akan diimplementasikan di industri pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara untuk tahun 2022 hingga 2024.
“Kami sendiri mengapresiasi kebijakan ini. Ini bukti pemerintah telah mengambil sikap terhadap lingkungan. Tapi aturan turunan dan roadmap politik tidak boleh bertentangan dengan tujuan awal,” pungkasnya. Politik Indonesia