Rencana pemerintah mengenakan pajak karbon dinilai membebani masyarakat dan memperburuk iklim usaha. Alasannya, konsumen menanggung beban pedagang atas pemberlakuan pajak emisi karbon.
Pemerintah disarankan untuk mempertimbangkan kembali rencana untuk memungut pajak karbon, tergantung pada tingkat bea cukai, entitas yang dikenakan pajak, serta sektor atau kegiatan yang dikenakan pajak karbon.

Menurut peneliti Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman, rencana pemerintah untuk mengenakan pajak karbon sulit tercapai mengingat pandemi Covid-19 yang masih belum terselesaikan, yang mengakibatkan perlambatan bisnis dan penurunan daya beli masyarakat.
“Dampaknya terhadap pelaku usaha pasti signifikan, karena tentunya akan menambah beban produksi yang pada akhirnya juga akan ditanggung oleh masyarakat sebagai konsumen. Disaat pandemi Covid-19 saat ini sedang menurun, daya beli masyarakat semakin berkurang. menurun. Begitu juga dengan perusahaan, semua sektor down dan kinerja banyak perusahaan turun, padahal itu perusahaan besar,” ujarnya, Senin (5/7/2021).
Ia menambahkan, kebijakan tersebut akan memberikan efek riak pada sektor usaha lain, selain tentu saja memperburuk iklim investasi, sehingga pemerintah harus mempertimbangkan kembali memasukkan emisi CO2 sebagai properti kena pajak.
Menurutnya, harus ada koordinasi antar kementerian untuk merumuskan skema yang tidak merugikan pelaku ekonomi dan daya beli masyarakat yang saat ini masih dalam tekanan yang cukup besar.
Selain itu, pemerintah juga harus berkomunikasi dengan dunia usaha tentang persiapan dan konsekuensi yang terungkap sehubungan dengan kebijakan ini.
“Tujuan dari pajak karbon adalah untuk mengurangi emisi. Tetapi harus ada transisi untuk meminimalkan beban masyarakat. Harus ada persiapan dan kombinasi, dan itu hanya bisa terjadi jika ada komunikasi dengan pemain komersial, “dia berkata. Ekonomi Indonesia
Pemerintah berencana mengenakan pajak karbon dan akan diberlakukan mulai 2022. Rencana tersebut tertuang dalam Perubahan Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Peraturan tersebut menetapkan bahwa yang dikenakan pajak CO2 adalah orang perseorangan atau badan hukum yang membeli produk gas dan/atau melakukan kegiatan yang menghasilkan emisi CO2.
Dalam rapat DPR baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan ada beberapa alasan untuk memperkenalkan pajak karbon ini, termasuk masalah lingkungan.
Indonesia bahkan telah berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% tahun ini dan 29% pada tahun 2030.
“Salah satu alat untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca adalah dengan menuntut ketentuan untuk pengenalan pajak karbon,” tulis Sri Mulyani.
Indonesia, kata dia, sangat rentan terhadap perubahan iklim yang menyebabkan kerugian besar setiap tahunnya. Bahkan, Indonesia masih terkait dengan dana untuk mengelola perubahan iklim. Politik Indonesia