BPK prihatin dengan kemampuan pemerintah membayar utang yang terakumulasi selama pandemi COVID-19. Kenaikan beban utang dan bunga bahkan melebihi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dan pendapatan pemerintah pusat.
Politik dan Ekonomi Indonesia
Hasil survei BPK terhadap akuntan publik (LKPP) tahun 2020 menunjukkan bahwa kerawanan utang Indonesia juga telah melampaui batas yang direkomendasikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF).

Misalnya, rasio utang pemerintah pusat terhadap PDB 46,77% lebih tinggi dari rekomendasi IMF sebesar 25-30%.
Selain itu, rasio utang terhadap PDB jauh di atas batas yang direkomendasikan IMF sebesar 90-50 persen dan 7-10 persen. Perlu dicatat bahwa rasio utang Indonesia adalah 369% sedangkan rasio pendapatan bunga adalah 19,06%.
Ekonom senior Kementerian Pembangunan Ekonomi dan Keuangan (Indef) Didik J Rachbini mengatakan laporan pengelolaan utang merah yang disampaikan BPK harus menjadi perhatian serius pemerintah.
Selain itu, menurut dia, utang yang harus ditanggung pemerintah tidak hanya Rp 6,5 triliun seperti yang tercantum dalam laporan APBN kita, tetapi juga utang BUMN yang membidangi tugas pembangunan infrastruktur. Ekonomi Indonesia
Memang, pailit atau pailitnya perusahaan-perusahaan tersebut juga harus ditanggung oleh APBN. “Totalnya (utang publik) di atas Rp 2 triliun. Jadi total bebannya Rp 8,5 triliun,” ujarnya.
Jika pokok dan bunga utang tidak bisa dibandingkan dengan penerimaan yang besar, anggaran negara bisa lumpuh dan menimbulkan krisis ekonomi.
“Dulu disebabkan oleh nilai tukar, sekarang disebabkan oleh anggaran negara yang sekarat dan krisis pandemi karena manajemen yang buruk sejak awal. Sehingga kombinasi kedua faktor tersebut berpotensi memicu terjadinya krisis ekonomi,” ujarnya.
Menurut Didik, solusi yang bisa diambil pemerintah adalah segera mengakhiri pandemi agar aktivitas ekonomi bisa kembali normal. Kemudian membawa kebijakan defisit pemerintah kembali ke masa sebelum pandemi, yaitu di bawah 3% dengan memotong pembiayaan utang.
Selain itu, pemerintah juga harus mendorong pertumbuhan ekonomi dengan strategi daya saing ekspor. “Untuk meningkatkan PDB lebih lanjut dan secara otomatis menjaga rasio defisit turun dan tingkat pendapatan dan pajak naik. Tapi sekarang pandemi masih sulit, jadi mungkin diperlukan beberapa tahun lagi.” Dia menjelaskan.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menilai dalam kondisi saat ini BPK tidak tepat menerapkan standar keamanan IMF terkait rasio utang.
Faktanya, pandemi COVID-19 telah memaksa hampir semua negara untuk mengadopsi kebijakan kontra-siklus untuk mendorong konservasi ekonomi mereka. Hal ini tentu akan berimplikasi pada melebarnya defisit dan menaikkan rasio utang terhadap PDB. Politik Indonesia
“Hampir tidak ada negara yang memiliki rasio utang dalam kisaran ini (standar IMF). Pada akhir tahun 2020, misalnya, Indonesia (39,39%), Filipina (48,9%), Thailand (50,4%), China (61,7%)), Korea Selatan (48,4%) dan Amerika Serikat (131,2%), ” dia berkata.
Dia juga menekankan bahwa pemerintah telah melakukan upaya untuk mengurangi beban utang dan mengelola pembiayaan anggaran negara dalam kondisi aman. Misalnya melalui kebijakan pembagian beban dengan Bank Indonesia (BI) untuk membiayai pengelolaan pandemi. “Padahal BI juga menanggung biaya bunga atas utang tersebut,” jelasnya.
Kedua, dengan kebijakan konversi pinjaman luar negeri untuk mengurangi risiko dan beban bunga di masa mendatang. Ini dilakukan dengan mengubah pinjaman dalam dolar AS dan suku bunga mengambang (berbasis LIBOR) menjadi pinjaman dalam euro dan yen dengan suku bunga tetap mendekati 0%.
Ada juga strategi pengelolaan keuangan melalui upaya pengurangan imbal hasil tahun lalu. Hal ini dapat menurunkan imbal hasil obligasi pemerintah sekitar 250 basis poin, mencapai 5,85% pada akhir tahun 2020 (17% year-on-year).
“Lembaga pemeringkat internasional juga mengapresiasi manajemen ekonomi dan keuangan Indonesia selama ini dalam mempertahankan peringkat Indonesia, khususnya di masa pandemi, dimana sebagian besar (124) negara telah diturunkan peringkatnya dan ada negara yang telah meminta keringanan utang melalui Paris Club,” ujarnya. .
Tingginya kebutuhan utang di masa pandemi tak lepas dari minimnya penerimaan pajak.