Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan mendesak pembentukan lembaga peradilan untuk menangani secara khusus perselisihan pemilihan umum selama pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2020. Ketentuan ini, katanya, diatur oleh UU 10 tahun 2016 tentang Pilkada, yang menyatakan bahwa pengadilan pemilihan dibentuk sebelum pemilihan kepala daerah serentak diadakan. Dia merasa bahwa keberadaan sejumlah lembaga peradilan yang membantu menyelesaikan perselisihan pemilu, seperti administrasi negara, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, kini tumpang tindih.
“Dalam UU 10/2016, sudah ada mandat untuk membentuk pengadilan pemilihan, harus ada satu sehingga tidak ada cabang. Sekarang ada Bawaslu, ada juga Mahkamah Agung, Pengadilan Tata Usaha, MK yang harus dipertimbangkan , ”Kata Abhan, Jumat (9/8) di gedung MK di Jakarta. Salah satu masalah yang muncul, kata Abhan, adalah ketika Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang, alias OSO, mengajukan keluhan sebagai anggota DPD tahun lalu. Pada saat itu, keputusan kontradiktif diambil antara pengadilan administrasi dan Pengadilan.

Pada saat itu, Pengadilan Administratif dan Mahkamah Agung memutuskan bahwa pemilihan 2019 dapat diikuti oleh calon anggota DPD yang juga merupakan pemimpin partai. Namun, ketika referensi dibuat untuk keputusan Mahkamah Konstitusi, calon anggota legislatif DPD dilarang memiliki pandangan yang koheren dengan anggota partai politik. “Kemarin sudah ada perbedaan dalam keputusan tentang kasus OSO, keputusan Bawaslu, keputusan Mahkamah Agung, keputusan MK. Inilah yang saya pikir harus ada catatan evaluasi. untuk pemilihan peradilan di masa depan, “katanya. . Politik Indonesia
Di bawah wewenang badan pengawas pemilu, Abhan melangkah lebih jauh, bahkan berbeda dari otoritas pengadilan lain, termasuk Mahkamah Konstitusi. Saat menangani sengketa pemilu, Bawaslu hanya berurusan dengan pelanggaran administrasi pemilu. Menurutnya, sering kali diabaikan bahwa para pemohon datang ke Mahkamah Konstitusi untuk menolak permintaan mereka. “Masalah administrasi ketika kita tidak bisa mendapatkan keadilan dapat diselesaikan. Misalnya, ada konflik dengan kandidat untuk partai politik karena kesalahan input oleh pejabat KPPS,” katanya.
“Jika dia pergi ke Mahkamah Konstitusi, itu hanya akan mungkin setelah disetujui oleh partai politik. Tetapi jika itu terserah kita secara pribadi, siapa pun bisa,” katanya. Abhan menjelaskan. Selain itu, yurisdiksi Mahkamah Konstitusi juga terbatas pada pemberian status hukum atau posisi hukum penggugat dalam perselisihan, yaitu kepada partai politik. Sementara Bawaslu memungkinkan individu. Namun demikian, katanya, masih ada kebutuhan untuk penilaian penuh dari masing-masing lembaga mengenai jalannya pemilu 2019. “Ya, saya pikir akan ada tinjauan penuh dari pemilihan 2019,” katanya. Ekonomi Indonesia